Saturday, October 23, 2010

Sains Modern versus Mitos dan legenda dalam menjaga keseimbangan lingkungan

Seluruh jagad raya ini bekerja dalam sebuah mekanisme keseimbangan dan kesetimbangan. Bumi tempat kita tinggali ini merupakan bagian dari jagad raya yang sedemikian luas tak berhingga (infinitum). Sebuah aksi yang kita berikan kepada bumi ini akan memunculkan reaksi sedemikian rupa sehingga bumi akan melakukan proses penyeimbangan dan penyetimbangan kembali. Ketika manusia melakukan aksi tebang pohon untuk keperluan hidup, misalnya membangun rumah, dalam jumlah yang bisa ditolerir maka ekosistem bumi ini akan mengalami penyeimbangan dan penyetimbangan sedemikian rupa sampai suatu ambang batas tertentu.

Tidak mengherankan apabila orang-orang kuno jaman dahulu "menyatukan" diri dengan lingkungan melalui "mendengarkan" suara-suara alam dalam melakukan aktivitas. Masyarakat jaman dahulu memiliki kearifan lokal yang salah satunya adalah untuk menjaga keseimbangan dan kesetimbangan ekosistem. Dalam masyarakat pedesaan, kearifan lokal ini termanifestasi dalam apa yang disebut cara, sedangkan dalam masyarakat praja/negara/kota yang sudah memiliki kompleksitas memerlukan regulasi yang disebut tata.

Dalam terminologi Jawa dikenal istilah "deso mowo coro, negoro mowo toto". Kearifan lokal ini biasanya tidak tertulis dan hanya diwariskan secara turun temurun melalui mitos dan legenda, sehingga sering sekali substansi dari ajaran kearifan lokal tidak difahami. Kalaupun tertulis biasanya hanya bisa diakses oleh para pujangga kraton/nagari. Seiring dengan waktu, kearifan lokal ini hanya berhenti pada taraf simbol-simbol yang ada dalam ritual-ritual yang dibungkus mitos dan legenda.

Sebagai ilustrasi, pada jaman dahulu di sebuah wilayah tertentu, masyarakat dilarang membuat rumah menghadap arah mata angin tertentu. Karena khawatir dilanggar, maka para tetua membuat pamali, "barangsiapa melakukannya, maka akan sengsara hidupnya". Padahal, yang menjadi penyebab dari larangan itu adalah rumah tersebut berada di lereng gunung, dimana angin dari arah gunung akan bergerak ke arah lembah pada waktu tertentu dan berlaku sebaliknya pada jam-jam tertentu. Pola pembuatan rumah harus disesuaikan dengan kondisi tersebut dan aktivitas di dalam masyarakat tersebut harus mengikuti pola tertentu sehingga mengikuti pola alamiah wilayah tersebut. Pada jaman dahulu, keseimbangan dan kesetimbangan ekosistem terjaga sedemikian rupa sehingga hubungan antara masyarakat dengan alam dapat selaras dan seimbang, kehidupan antar sesama manusia juga selaras tanpa mengganggu keberlangsungan ekosistem wilayah tersebut.

Banjir di wilayah Indonesia. Hal ini juga terjadi hampir di seluruh belahan bumi yang lain

Sains, disisi lain mendekati alam untuk dipelajari dengan cara yang berbeda dengan kearifan lokal. Apabila kearifan lokal ala dunia timur, manusia menempatkan posisi dalam alam raya sebagai bagian darinya, maka sains meletakkan alam raya sebagai obyek kajian yang harus bisa dikaji secara rasional maupun empiris. Hasil dari analisis rasional dan empiris adalah diciptakannya sebuah model mental konstruk yang dapat didefinisikan, diilustrasikan dan dapat diulang-ulang untuk mengamati obyek yang berbeda-beda. Hukum Newton misalnya mengamati gerak benda-benda materi sedemikian rupa sehingga dikenal Hukum Newton. Sains akan mengalami revisi apabila ada argumen maupun model yang dapat menyanggah postulat, teori, hukum maupun model terdahulu mengenai obyek yang sama. Meski sedemikian relatif dan spekulatif, namun sains ini dianggap sebagai pencerah bagi manusia karena dengan sains ini manusia dianggap memiliki sudut pandang yang benar mengenai apa yang ia lihat. Dengan sains inilah kemudian pamali-pamali maupun simbol-simbol yang ada dalam mitos dan legenda dapat terkuak dan menemukan alasannya. 

Namun, sebuah kontradiksi telah terjadi ketika sains mencapai puncaknya di era modern ini, atau paling tidak untuk saat ini. Manusia bisa terbang ke bulan, bisa menganalisis bintang-bintang yang ada di angkasa bahkan bisa "menciptakan" makhluk-makhluk baru bernama bakteri dan virus dari persilangan-persilangan. Secara logis empiris, apabila manusia bisa mendapat pencerahan karena bisa "membedah" semua takhayul dan gugon tuhon serta bisa menerangkan "mengapa begini dan mengapa begitu", mengapakah malah terjadi berbagai kerusakan di bumi ini ?

Ketika sains mampu untuk menguak betapa bodohnya Pakdhe Sastro berbicara masalah pamali, mengapakah justru kerusakan eko-sistem terjadi ? Ketika manusia bisa mengetahui bahwasanya menebang pohon dalam jumlah yang tidak bisa ditolerir bisa menyebabkan kerusakan hutan dan banjir ketika hujan dengan sains, mengapakah tetap saja kerusakan-kerusakan terjadi ? Apakah dengan sains, kita bisa bijaksana melihat kehidupan ini ? Mendewakan mitos dan legenda merupakan sebuah kebodohan, namun bukankah lebih bodoh orang yang tahu namun tidak melaksanakan ? Blilu tau, pinter durung nglakoni (Orang dongo' tapi udah melaksanakan lebih baik daripada orang pinter tapi ngga mau ngelakuin). Apalah artinya iman tanpa ilmu, dan apalah artinya ilmu tanpa amal. Marilah kita merenungi hal ini......


No comments:

Post a Comment