Nampaknya, modernisme telah menyeruak dalam diri setiap manusia. Berbagai perubahan telah terjadi dalam waktu yang relatif singkat. Berbagai obsesi manusia telah bercampur aduk menjadi satu, sehingga menyebabkan katastrofi dan chaos dalam kehidupan ini. Manusia telah melupakan jati dirinya sedemikian rupa sehingga ia lupa akan makna kehidupan ini. Sebuah konstruk chaos telah terbentuk sedemikian rupa. Tatanan lama telah dilupakan sedangkan tatanan baru masih dalam proses trial-and-error. Lalu, bagaimanakah manusia memposisikan dirinya dalam konteks sosial dan lingkungan ? Itulah yang perlu kita jawab sekarang ini.
Pertanyaan serupa akan dilontarkan oleh insaan-insaan yang kritis dalam perenungannya. Ketika semua tatanan harus mengabdi kepada satu kata : UANG, maka kita harus mengembalikan kepada pertanyaan : bukankah uang itu adalah sarana dan bukan tujuan ? Pertama, manusia harus dapat mendefinisikan secara obyektif, apa tujuan dan makna hidup baginya ?
Ketika dalam sebuah kehidupan manusia tidak dapat menentukan apa makna dan tujuan hidup ini, bagaimana mungkin (sebenarnya) dia dapat mendefiniskan sarana untuk mencapai tujuan hidup ? The ends always justifies the means, but what will it be when we don't know where our end is ? Tulisan ini tidak akan menggiring pembaca kepada dogma agama, namun untuk mengajak pembaca berfikir dan merenung. Untuk kembali kepada tujuan hidup kita. Baru setelah menemukan tujuan hidup ini, barulah kita dapat untuk melakukan positioning dimanakah kita berada dalam kehidupan ini. Dari positioning itulah seorang manusia dapat menentukan, sarana apakah untuk mencapai hal itu.
Okaylah, kita memiliki tujuan untuk membuat rumah, karena dengan mengetahui tujuan pembuatan rumah kita baru bisa mendefinisikan apa yang dibutuhkan untuk membuat rumah itu. Rumah itu memerlukan atap, badan rumah, lantai dan fondasi. Untuk keperluan itu, manusia membutuhkan sarana, yaitu modal untuk membuat rumah. Pada jaman dahulu kala ketika masyarakat masih komunal, maka pembuatan rumah warga ditanggung bersama. Masyarakat Jawa jaman dahulu memiliki sebuah konstruk sosial dimana pembuatan rumah merupakan sebuah ritual spiritual maupun sosial. Pada jaman dahulu, modal pembuatan rumah ditanggung bersama sehingga rumah di daerah pedesaan jaman dahulu relatif sama satu dengan yang lainnya. Di era modern, modal untuk membangun rumah adalah UANG, sehingga manusia modern memerlukan uang dalam jumlah banyak untuk meng-hire arsitek untuk merancang rumah, menghire tukang beserta mandornya serta membayar PLN, PAM dan lain sebagainya.
Dari ilustrasi membuat rumah, dapat kita fahami beberapa hal :
1) Sama-sama membuat rumah, namun struktur sosial akan berpengaruh terhadap bagaimana membuat rumah
2) Struktur sosial akan turut menentukan modal yang diperlukan dalam membuat rumah
3) Modal uang beserta modal sosial bukanlah tujuan, namun sarana untuk mencapai tujuan
TAPI NANTI DULU !!!! Pada jaman dahulu dimana masyarakatnya masih komunal, semuanya ditanggung bersama. Manusia jaman dahulu melihat kehidupan sedemikian simple, dimana manusia hidup untuk berkarya dan untuk berkarya membutuhkan kerjasama. Sehingga konsep makaryo (berkarya) sedemikian kondang jaman dahulu. Konsep manembah dalam konsep Jawa setelah Islam masuk memiliki dua implikasi, yaitu topo nyepi dan topo ngrame. Topo nyepi sebagai pengejawantahan dari Hablumminallah dan topo nyepi sebagai pengejawantahan dari habluminannas.
Diri, lingkungan dan Sang Pencipta. Kegoncangan terjadi ketika terjadi ketidaksinkronan antara diri, lingkungan (sosial maupun alamiah) dan Sang Pencipta (Khaliq). Diri manusia berperan sebagai khalifah atau wakil Sang Pencipta untuk "mencipta" melalui karya. Untuk mencipta itu ia diletakkan dalam kehidupan, dimana dalam kehidupan itu terdapat lingkunan sosial maupun lingkungan alamiah. Untuk berkarya membangun rumah untuk berteduh, seorang manusia jaman dahulu bersahabat dengan lingkungan (sosial maupun alamiah) dalam rangka menjalankan tugas suci sebagai hamba sekaligus khalifatullah. Demikianlah paradigma simple yang sudah lazim berabad-abad lamanya.
Goncangan terjadi ketika Tujuan kepada Sang Khaliq ini kemudian terdistorsi karena membutuhkan modal untuk memenuhi kebutuhan hidup (sandang, pangan, papan, dsb). Yang semula sebagai alat, akhirnya menjadi tujuan. Lalu, bagaimanakah kita dapat menerima sebuah argumen bahwa sebenarnya akar dari semua permasalahan berasal dari dalam diri kita, sedangkan diri kita berada dalam sebuah konstruk sosial yang berubah sedemikian rupa. Sebaliknya, bagaimanakah kita dapat menolak sebuah argumen bahwa permasalahan yang kita alami berasal dari lingkungan sosial-alamiah kita, sedangkan apa yang terjadi pada lingkungan sosial-alamiah kita berasal dari agregat tingkah laku diri manusia yang ada di dalamnya.
Susah untuk menerima pendapat bahwa segala permasalahan berasal dari diri kita sendiri, sedangkan kita hidup dalam lautan samudra sosial dan lautan samudra alam raya. Satu-satunya cara barangkali adalah kembali kepada bahr al-qudrah Illahi. Allahumma antal maqsudi, wa ridloka mathlubi a'tiini mahabbataka wa ma'rifatak, wa sholallahu ala Muhammadin wa alaa alihi wa shohbihi wa saliiim.......
Semoga, segala goncanagan dalam diri-diri anak Adam dapat stabil. Sura diro jayaningrat lebur dening pangastuti...............
No comments:
Post a Comment